Skip to main content

Ekonomi Kerakyatan : Merumuskan Kembali Ekonomi Nasional

Oleh: Galih Dwi Prastio
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
*********
Orang bilang tanah kita tanah surga
tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman

Sepenggal lirik lagu Koes Plus yang berusaha menggambarkan betapa makmurnya “seharusnya” Indonesia. Entah siapa yang patut disalahkan, apakah perumpamaan tersebut masih dipandang relevan atau tidak jika dipakai untuk menggambarkan kondisi terkini republik ini. Contoh sederhana tengok saja bursa kerja yang belum lama diselenggarakan di Graha Cakrawala Universitas Negeri Malang, para penganggur atau bahkan mereka yang mencari penghasilan lebih baik. Walaupun terkadang diharuskan membayar jumlah yang tidak sedikit, toh faktanya para pencari kerja tetap berduyun-duyun. Di lokasi yang tidak jauh, Dosen-dosen Ekonomi mewartakan dengan penuh semangat pada mahasiswa dalam kelas-kelas ekonomi bahwasanya perekonomian Indonesia mantap tumbuh dengan angka yang membanggakan, inflasi rendah dan suku bunga stabil. Lalu pertanyaan utamanya adalah untuk siapa sebenarnya semua pencapaian tersebut.
            Saat sektor pekerjaan formal belum juga mampu menyerap tenaga kerja dengan signifikan maka sektor informalah yang sekali lagi menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Resesi ekonomi awal tahun 1980-an, walaupun Pemerintah harus mendevaluasi rupiah toh perekonomian menggeliat dan kembali bergerak justru karena sektor informal. Peristiwa itu berulang kembali saat krisis 1997/1998, atau bahkan hingga hari ini saat sektor riil menjerit karena jatuhnya daya beli dan rendahnya fungsi intermediasi perbankan. Sekitar 40 juta sektor informal lagi-lagi menunjukkan keperkasaannya dengan keberhasilannya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi. (Noorsy:2006).
Fakta - fakta diatas seharusnya mampu membuka kepedulian pemerintah bahwasanya sektor informal tidak dapat lagi dipandang sebelah mata. Sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan sektor sektor-sektor ekonomi rakyat, karena ironinya pelaku-pelaku ekonominya seperti petani, nelayan, pedagang kecil serta masih banyak lagi cukup sulit untuk mendapatkan pinjaman modal perbankan karena dianggap sektor beresiko tinggi. Hal tersebut dilandasi oleh mentalitas bankir yang masih saja beranggapan bahwa akan lebih mudah mengucurkan kredit bernilai besar kepada beberapa pelaku bisnis besar ketimbang memberikan kredit mikro terhadap jutaan pelaku usaha kecil serta menengah, kalau toh keuntungannyapun sama.
Disinilah seharusnya peran pemerintah untuk turun tangan sesuai amanat konstitusi agar tercipta keadilan bagi setiap pelaku usaha dan tidak terjadi penindasan oleh segelintir pengusaha yang memiliki modal besar yang  sekali lagi menghasilkan ketimpangan. Yang pertama adalah dengan memberikan porsi anggaran yang sesuai dengan kebutuhan lewat APBN yang lebih pro terhadap sektor kerakyatan, seperti pinjaman lunak ataupun bantuan sarana prasarana bagi usaha – usaha rakyat yang kurang tersentuh oleh sektor perbankan, serta yang paling krusial tentu saja adalah percepatan infrastruktur yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat serta mampu memberikan nilai tambah pada sektor – sektor ekonomi rakyat. Sebagai contoh tengok saja persoalan elektrifikasi negeri ini, saat tulisan ini dibuat bertepatan dengan peringatan hari kelistrikan yang ke 69 Republik Indonesia, namun nyatanya masih terdapat 20% atau seperlima wilayah republik ini yang belum teraliri listrik sama sekali.
Yang kedua adalah pemberdayaan. Salah satu lemahnya daya saing sektor ekonomi rakyat dalam bersaing dengan pemodal besar bukan semata akibat dari lemahnya modal finansial yang mereka miliki, namun lebih jauh hal tersebut disebabkan oleh minimnya pendidikan mereka. Hal ini mencerminkan terbenngkalainya hak-hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan sesuai amanat pasal 31 UUD 1945. Pemberdayaan dapat berupa berbagai kegiatan pelatihan dan penyuluhan bagi basis-basis pelaku usaha ekonomi rakyat dalam menjalankan kegiatan usahanya baik melalui departemen-departemen pemerintah maupun lewat peran serta BUMN/BUMD. Selain itu untuk memperkuat daya saing serta nilai kemanfaatannya maka basis-basis usaha ekonomi kerakyatan sudah seharusnya diperkuat dengan koperasi. Koperasi disini tentunya koperasi yang benar-benar koperasi. Yakni koperasi yang sesungguhnya lebih berorientasi sosialbenefit serta berrusaha untuk mencapai pemerataan kesejahteraan anggota serta massyarakat. Karena dewasa ini faktanya stigma negatif melekat erat dalam nama koperasi, hal tersebut tidak lain karena banyaknya oknum-oknum koperasi yang hanya mengatasnamakan koperasi sebagai kedok dalam memburu rente perorangan semata.
Yang ketiga adalah perlindungan, tanpa adanya perlindungan dari pemerintah tentu saja suatu kemustahilan bagi pelaku usaha rakyat mampu untuk sekedar bertahan bersaing secara bebas melawan para korporasi besar. Justru disinilah peran pemerintah untuk memastikan terjadinya persaingan yang sehat serta adil atau bahkan mampu mensinergikan usaha besar dan usaha kecil sehingga tercapai kemitraan yang saling membutuhkan dan menguntungkan, bukan persaingan yang saling mematikan yang terus berlangsung seperti saat ini. Bukankah cukup menggelikan saat mereka telah lolos dari penertiban Polisi Pamong Praja dengan berbagai retribusi dan upeti ditengah tipisnya margin keuntungan, produk-produk mereka pun masih harus bersaing dengan hypermarket dengan segala keunggulannya.
Bagi Indonesia, hal yang bersifat protektif bertentangan dengan WTO karena Indonesia meratifikasi perjanjian WTO pada 1994. Dengan alasan itu didukung kegandrungan pada pertumbuhan ekonmi berterassaving insvestment gap theory, yaitu kebutuhan investsi tidak dapat dipenuhi oleh tabungan domestik, maka liberal seliberal-liberalnya dalam segala bidang adalah sebuah keniscayaan. Ini berarti sejak sumberdaya ekonomi, lalu cabang-cabang produksi, sampai dengan distribusi sesungguhnya sudah diserahkan pada kekuatan mekanisme pasar atau pada kekuasaan modal finansial (Noorsy:2006). Inilah salah satu potret kelam pengelolaan ekonomi Indonesia. Semangat Ekonomi Kerakyatan yang salah satunya bercirikan peranan vital negara sebagaimana tercantum jelas pada Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD semakin tenggelam atau bahkan mungkin sengaja untuk ditenggelamkan dan diganti dengan mahzab – mahzab neoliberalisme dengan liberalisasi sektor publik serta pasar bebas sebagai jargon utamanya menggantikan pasar yang berkeadilan. Lalu pertanyaanya mungkinkah ini merupakan salah satu bentuk dari penghianatan terhadap Konstitusi?
Maka jika pemerintahan yang baru terpilih terus saja menutup mata dan terus saja hanya berfokus mengejar angka pertumbuhan ekonomi semata, bukanlah hal yang mustahil jika sektor informal yang merupakan basis usaha rakyat semakin terpinggirkan. Modal sosial bangsa ini yang seharusnya berpotensi besar menghasilkan modal kapital hanya sebatas menjadi angan-angan karena sekali lagi kurangnya dukungan dengan pengelolaan, pendidikan serta pemanfaatan sumberdaya alam yang bertanggung jawab dan berkeadilan. Memang tidak salah jika pemimpin negeri ini menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia terus mengalami pertumbuhan menggembirakan ditengah gonjang ganjing perekonomian dunia yang tidak stabil, namun dilain sisi bukan hal yang keliru pula jika seorang buruh tani ataupun nelayan bertanya untuk siapakah sebenarnya pertumbuhan itu?
Pada tahun 2013 BPS melansir data koeifsien gini yang merupakan representasi dari  kemerataan ekonomi atau bisa juga disebut dengan tingkat ketimpangan pendapatan pada suatu negara. Koefisien indeks gini Indonesia pada tahun 2013 sebesar 0,413, itu merupakan nilai tertinggi semenjak tahun 1996 dengan tren yang hampir terus mengalami kenaikan disetiap tahunnya. Hal ini merupakan sebuah cerminan betapa sebenarnya kue pertumbuhan ekonomi di Indonesia setiap tahun hanyalah dinikmati oleh sekelompok golongan masyarakat dengan proporsi yang tidak berkeadilan. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya implementasi dari UUD 1945 pasal 33 terutama pada ayat 1 yang mengisyaratkan kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus dilakukan bersama dan berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walau pun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat (Awang : 2006) dan hal inilah yang belum dilakukan oleh Indonesia. Dengan kondisi perekonomian saat ini dimana paradigma ekonomi yang masih terus mendewakan nilai pertumbuhan seperti saat ini maka cita - cita bangsa untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang tertuang dalam batang tubuh Konstitusi serta Sila ke 5 Pancasila akan tinggal sebagai kata-kata tanpa makna dan demokrasi ekonmi tidak pernah akan terjadi. Satu-satunya jalan ialah merumuskan kembali perekonomian sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi.
Daftar Pustaka :
Noorsy, Ichsanuddin, 2006, Adios Ekonomi Rakyat 2007, (Internet), (http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/my%20web/sembul44_1.htm, diakses tanggal 27 Oktober 2014)
Awang, San Afri, 2006, Konsep Ekonomi Kerakyatan dan Aplikasinya pada Sektor Kehutanan, (Internet), (http://ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/my%29web/sanafri.htm, diakses tanggal 27 Oktober 2014)

BPS, 2014, Gini Ratio by Province 1996 - 2013, (Internet), (http://www.bps.go.id/eng/tab_sub/view.php?kat=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=6, diakses tanggal 28 Oktober 2014)

Comments

  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.

    Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Curahan Hati Tentang Negeri

(Oleh:   Lenni Nurfadhilah) Indonesia kaya akan sumber daya, baik alam maupun manusia. Beraneka ragam budaya dan suku bangsanya. Namun, fenomena kehidupan di Indonesia begitu memilukan. Masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, masih banyak yang pendidikannya rendah, dan masih banyak pula pengangguran. Benar pepatah mengatakan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin tak berdaya. Pemimpin bangsa banyak yang melupakan janji manisnya, sehingga korupsi merajalela. Sungguh ironis, melihat fenomena negeri yang memilukan. Perekonomian yang seharusnya sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 UUD, tetapi tidak demikian. Landasan perekonomian tersebut hanyalah simbol formalitas saja. Pembangunan di negeri ini masih jauh dari kata merata, baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun perekonomiannya. Mengapa saya katakan demikian? Karena banyak fakta yang memotretnya.             Saya pernah ikut suatu kegiatan social di daerah Malang selatan. Ketika di perjalanan, saya hanya m

REORIENTASI DAN REDESAIN PEREKONIMIAN INDONESIA BERKAITAN DENGAN JATI DIRI PEREKONOMIAN BANGSA INDONESIA DAN AMANDEMEN PASAL 33 & UUD 1945

Oleh: Ayu Dwidyah Rini, M.Pd (Pembina Komunitas Ekonomi Kerakyatan) Pokok Pikiran yang disampaikan dalam: Forum Grup Diskusi Pembelajaran Ekonomi Kerakyatan Malang   Re-orientasi Perekonomian Indonesia Berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945       Perekonomian Indonesia hingga saat ini masih dibelenggu oleh sistem kapitalis-liberalisme. Roda – roda perekonomian Indonesia mengacu pada Neo-Liberalism. Perilaku manusia Indonesia saat ini telah mengarah pada homo-economicus yang berorientasi pada pengutamaan kepentingan individu atau kita kenal sebagai individualisme. Stiglitz (2002) menjelaskan bahwa peran negara dalam sistem neoliberalisme diaktualisasikan dalam empat hal sebagai beriku: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk pengahapusan subsidi, (2) liberalisasi sektor keuangan,(3) liberalisasi perdagangan dan (4) privatisasi BUMN. Berdasar pada hal tersebut perlu kembali dipertanyakan terkait hakikat perekonomian Indonesia sesuai de