Oleh: Heru Hizbulloh
Indonesia dan Keberlimpahan
Sebelum membahas lebih
lanjut tentang napak tilas pudarnya ekonomi kerakyatan, mari kita satukan
pikiran terlebih dahulu mengenai gambaran negeri ini dalam hal potensi alam
yang dimilikinya serta akibat yang ditimbulkan oleh potensi itu sendiri. Indonesia,
siapa yang tidak mengenal Negara dengan sejuta potensi yang luar biasa, terdiri
dari beribu-ribu pulau, dikenal seantero dunia dengan kandungan kekayaan
alamnya, begitu banyak logam mulia, gas alam, batu bara, dan lain-lain. Namun, hal
tersebut tentu jangan sampai membuat Bangsa ini terlalu lama “terlena” dengan
pemberian Tuhan, bukan tanpa alasan mengapa kekhawatiran ini muncul.
Paradoks Keberlimpahan,
bagi sebagian orang paradoks ini tentu tidak asing lagi, sering sekali muncul
ketika kita mendiskusikan bagaimana kekayaan alam dapat menjadi boomerang bagi
pertumbuhan ekonomi suatu Bangsa. Kutukan sumber daya, atau paradoks
keberlimpahan, mengacu pada anggapan bahwa
negara dan daerah yang kaya akan sumber
daya alam, terutama sumber daya yang tidak terbarukan
seperti mineral dan bahan
bakar, cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan wujud pembangunan yang lebih buruk
ketimbang negara-negara atau daerah yang sumber daya alamnya langka. Fenomena
ini diduga memiliki beberapa alasan, salah satunya penurunan tingkat persaingan
di sektor-sektor ekonomi lain. Hal ini tentu tidak terjadi jika pengelolaan
ekonomi berdasar pada jati diri perekonomian Bangsa yang mengarah pada pemerataan berkeadilan.
Ekspektasi VS Realita Perekonomian Indonesia
Perekonomian Indonesia semakin hari semakin meninggalkan
jati dirinya, hingga saat ini perekonomian di Negeri ini masih didominasi oleh
Neoliberalisme, perekonomian yang mengacu pada kebebasan bagi semua warga
negara untuk berekonomi, tentu hal ini jika terus dibiarkan akan memperbesar
peluang terjadinya ketimpangan ekonomi antar masyarakat.
Neoliberalisme merupakan sistem
perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap
orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang,
manjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini
pemerintah hanya menjalankan fungsi deregulasi bagi mekanisme pasar dan hanya
untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang
berjalan. (Coen Husain, 2005). Jati diri Perekonomian Indonesia sekarang
terkikis dengan aliran-aliran yang hanya mementingkan golongan bermodal saja,
dalam berekonomi masyarakat Indonesia saat ini hanya mengutamakan
kepentingannya masing-masing, tanpa memperhatikan sekitar. Padahal, dalam pasal
33 ayat 1 dijelaskan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan.
Jati
diri perekonomin ini sebenarnya sudah ada sejak dahulu, Muh. Hatta yang dikenal
sebagai Bapak Ekonomi Indonesia sudah merumuskan sistem perekonomian Indonesia,
yakni Ekonomi Kerakyatan. Sebuah sistem perekonomian yang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila khususnya Sila ke-4. ekonomi kerakyatan, sebagaimana dimuat
dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem ekonomi yang demokratis, yang
memperhatikan keberlanjutan perekonomian. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan
adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi,
air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengacu pada prinsip di
atas, ekonomi kerakyatan menurut hemat saya sangatlah penting untuk diterapkan
dalam perekonomian Negeri ini, baik dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD), Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) dan
lain-lain. Karena dengan ekonomi kerakyatan inilah distribusi pendapatan akan
merata kepada semua warga negara dan akan menyumbangkan pertumbuhan terhadap
perekonomian suatu Negara.
Napak
Tilas Belenggu Ekonomi Kerakyatan
Sampailah
kita kepada pembahasan utama dalam artikel ini, permasalahan mengapa ekonomi
kerakyatan tidak dapat terselenggara dengan baik sebagaimana dipaparkan oleh
Drs. Revrisond Baswir, MBA dalam “Ekonomi Kerakyatan VS Neoliberalisme”. Setidaknya
ada sepuluh hal yang dilakukan oleh kolonial Belanda untuk membelenggu
terselenggaranya Ekonomi Kerakyatan di Indonesia;
Pertama, terjadinya
agresi I dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah
berdirinya NKRI yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Kedua, dipaksanya
bangsa Indonesia untuk memenuhi tiga syarat ekonomi guna memperoleh pengakuan
kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Ketiga syarat
ekonomi itu adalah: (1) bersedia menerima warisan utang Hindia Belanda sebesar
4,3 milliar gulden; (2) bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh Dana Moneter Internasional (IMF); dan (3) bersedia mempertahankan
keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Ketiga, dilakukannya
berbagai tindakan adu domba menyusul dilakukannya tindakan pembatalan KMB
secara sepihak oleh pemerintah Indonesia pada 1956. Tindakan-tindakan itu
antara lain terungkap pada meletusnya peristiwa PRRI/Permesta pada 1958.
Keempat, diselundupkannya
sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi Indonesia ke AS untuk mempelajari ilmu
ekonomi yang bercorak liberal-kapitalistis sejak 1957. Para ekonom yang
kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley ini sengaja dipersiapkan untuk
mengambil alih kendali pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan
Soekarno pada 1966.
Kelima, dilakukannya
sandiwara politik yang dikenal sebagai proses kudeta merangkak terhadap
Soekarno pada 30 September 1965, yaitu pasca terbitnya UU No. 16/1965 pada
Agustus 1965, yang menolak segala bentuk keterlibatan modal asing di Indonesia.
Keenam, dipaksanya
Soekarno untuk menandatangani empat UU sebelum ia secara resmi dilengserkan
dari kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU No. 7/1966 tentang penyelesaian
masalah utang-piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda; (2)
UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesia sebagai anggota ADB; (3) UU No.
9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank
Dunia; dan (4) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
Ketujuh, dibangunnya
sebuah pemerintahan kontra-revolusioner di Indonesia sejak 1967. Melalui
pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto ini, para ekonom “Mafia Berkeley” yang
sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha
membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian Indonesia dari ekonomi
kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan pembelokan orientasi
tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan ADB dengan cara
mengucurkan utang luar negeri.
Kedelapan, dilakukannya
proses liberalisasi besar-besaran sejak 1983, yaitu melalui serangkaian
kebijakan yang dikemas dalam paket deregulasi dan debirokratisasi.
Kesembilan, dipaksannya
Soeharto untuk menandatangani pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal
secara terinci melalui penandatanganan nota kesepahaman dengan IMF pada 1998,
yaitu sebelum ia secara resmi dipaksa untuk mengakhiri kekuasannya melalui
sebuah gerakan politik yang dikenal sebagai gerakan reformasi. Perlu diketahui,
dalam sejarah perekonomian Inggris, gerakan reformasi serupa dimotori antara
lain oleh David Hume, Adam Smith, David Ricardo, Thomas R. Malthus, dan John S.
Mill (Giersch,1961).
Kesepuluh, dilakukannya
amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional
sistem ekonomi kerakyatan pada 2002. Melalui perdebatan yang cukup sengit, ayat
1, 2, dan 3, berhasil dipertahankan. Tetapi kalimat penting yang terdapat dalam
penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan
itu ialah koperasi,” turut menguap bersama hilangnya penjelasan pasal tersebut.
Comments
Post a Comment